1.
Pengertian Akad
Menurut buku Akad dan Produk Bank
Syariah, Akad (ikatan, keputusan, atau penguatan) atau perjanjian atau
kesepakatan atau transaksi dapat diartikan sebagai komitmen yang terbingkai
dengan nilai-nilai Syariah. Dalam istilah Fiqih, secara umum akad berarti
sesuatu yang menjadi tekad seseorang untuk melaksanakan, baik yang muncul dari
satu pihak, seperti wakaf, talak, dan sumpah, maupun yang muncul dari dua
pihak, seperti jual beli, sewa, wakalah, dan gadai. Secara khusus akad berarti
keterkaitan antara ijab (pernyataan penawaran/pemindahan kepemilikan) dan qabul
(pernyataan penerimaan kepemilikan) dalam lingkup yang disyariatkan dan
berpengaruh pada sesuatu (Santoso, 2003).
Menurut buku Islamic Banking, Kontrak
dalam islam dibedakan menjadi wa’ad dan akad. Akad adalah kontrak yang dibuat
oleh kedua belah pihak sedangkan wa’ad adalah janji yang dibuat oleh seseorang
kepada orang lain. Disisi lain, akad mengikat kedua belah pihak yang menyetujui
hal tersebut, dalam hal itu mereka masing-masing terikat untuk melaksanakan
kewajibannya yang telah disepakati sebelumnya.
Jadi akad merupakan kesepakatan atau
kontrak yang dibuat oleh kedua belah pihak dengan melaksanakan kewajiban yang
telah disepakati sebelumnya, serta memakai nilai-nilai syariah atau
aturan-aturan islam.
2.
Rukun Akad
Menurut buku Akad dan Produk Bank
Syariah, Rukun dalam akad ada tiga, yaitu: 1) pelaku akad; 2) objek akad; dan
3) Shighah atau pernyataan pelaku akad, yaitu ijab dan qabul. Pelaku akad
haruslah orang yang mampu melakukan akad untuk dirinya (ahliyah) dan mempunyai
otoritas Syariah yang diberikan pada seseorang untuk merealisasikan akad
sebagai perwakilan dari yang lain (wilayah). Objek akad harus ada ketika
terjadi akad, harus sesuatu yang disyariatkan, harus bisa diserahterimakan
ketika terjadi akad, dan harus sesuatu yang jelas antara dua pelaku akad.
Sementara itu, ijab qabul harus jelas maksudnya, sesuai antara ijab dan qabul,
dan bersambung antara ijab dan qabul.
Menurut buku Akad dan Produk Bank
Syariah, Syarat dalam akad ada empat, yaitu: 1) syarat berlakunya akad
(In’iqod); 2) syarat sahnya akad (Shihah); 3) syarat terealisasikannya akad
(Nafadz); dan 4) syarat akad (Lazim). Syarat In’iqod ada yang umum dan khusus.
Syarat umum harus selalu ada pada setiap akad, seperti syarat yang harus ada
pada pelaku akad, objek akad dan Shighah akad, akad bukan pada sesuatu yang
diharamkan, dan akad pada sesuatu yang bermanfaat. Sementara itu, syarat khusus
merupakan sesuatu yang harus ada pada akad-akad tertentu, seperti syarat
minimal dua saksi pada akad nikah. Syarat shihah, yaitu syarat yang diperlukan
secara Syariah agar akad berpengaruh, seperti dalam akad perdagangan harus
bersih dari cacat. Syarat nafadz ada dua, yaitu kepemilikan (barang dimiliki
oleh pelaku dan berhak menggunakannya) dan wilayah. Syarat lazim, yaitu bahwa
akad harus dilaksanakan apabila tidak ada cacat.
Menurut buku Hukum Kontrak Syariah,
Rukun dapat diartikan sebagai unsur-unsur yang menentukan terbentuknya. Tanpa
ada rukun, suatu akad tidak akan terjadi. Rukun akad terbagi menjadi 3 yaitu :
1.) Aqidain (Pihak yang berakad)
Aqidain dipandang sebagai rukun akad
karena merupakan satu pilar utama tegaknya akad. Tanpa ada aqidain akad tidak
akan terjadi. Aqidain merupakan subjek hukum sebagai pelaku perbuatan yang
menurut syara’ dapat melaksanakan hak dan kewajiban. Aqidain atau subjek hukum
terdiri dari dua macam, yaitu manusia dan badan hukum. Agar aqidain dapat
mengadakan akad secara sah, maka harus memenuhi syarat kecakapan (ahliyah) dan
kewunangan (wilayah) bertindak di hadapan hukum.
2.) Mahal al-‘Aqd (Objek akad)
Mahal al-‘Aqd ialah sesuatu yang oleh
syara dijadikan objek dan dikenakan padanya akibat hukum yang ditimbulkan.
Dengan kata lain, mahal al-‘Aqd dapat diartikan pula sebagai sesuatu yang
berkaitan dengan perbuatan manusia ketika akan melakukan akad. Mahal al-‘Aqd
dibagi menjadi dua, yaitu harta benda dan manfaat perbuatan itu sendiri.
3.) Sighat al-‘Aqd
Sighat al-‘Aqd merupakan hasil ijab dan
qabul bedasarkan ketentuan syara’ yang menimbulkan akibat hukum terhadap
objeknya. Pernyataan ijab qabul bertujuan untuk menunjukan terjadinya
kesepakatan akad. Ijab adalah pernyataan pertama yang disampaikan oleh salah
satu pihak yang mencerminkan kehendak untuk mengadakan kesepakatan, sedangkan
qabul adalah pernyataan oleh pihak lain setelah ijab yang mencerminkan
persetujuan/kesepakatan terhadap akad.
Menurut buku Hukum Kontrak Syariah, persyaratan
yang harus dipenuhi ketika akan mengadakan akad yaitu :
1.) Terjadinya akad
Syarat
terjadinyaakad harus ada agar keberadaan akad diakui oleh syara’. Jika syarat
ini tidak ada maka akad tersebut akan batal. Bagian yang termasuk dalam syarat
ini adalah
1. Ketentuan umum berupa persyaratan yang
terdapat pada rukun-rukun akad
2. Berupa persyaratan tambahan yang harus
dipenuhi. Misal, serah terima akad kebendaan.
2.) Keabsahan akad
Keabsahan
akad merupakan persyaratan yang ditetapkan oleh syara’ untuk ada tidaknya
akibat hukum yang ditimbulkan akad.
3.) Kepastian akad
Syarat
luzum merupakan syarat kepastian hukum dalam akad, sehingga tidak ada hak
memilih untuk meneruskan atau membatalkan.
4.) Pelaksanaan akad
Dalam
syarat ini ada beberapa yang harus dipenuhi, diantaranya syarat kecakapan untuk
bertindak hukum dan memiliki kewenangan unruk melakukan perbuatan hukum.
Jadi dalam pelaksanaan akad terdapat
rukun-rukun serta syaratnya. Rukun-rukun
akad yaitu [1] pelaku/subjek akad, [2] objek akad, dan [3] pernyataan akad/ijab
qabul. Syarat akad yaitu terjadinya [1] syarat berlakunya akad (In’iqod), [2]
syarat sahnya akad (Shihah), [3] syarat terealisasikannya akad (Nafadz), dan
[4] syarat akad (Lazim)
3.
Jenis-Jenis Akad yang Diterapkan Bank Syariah
Berbagai jenis akad yang diterapkan oleh
bank syariah dapat dibagi ke dalam enam kelompok pola, yaitu:
1.
Pola Titipan, seperti wadi’ah yad amanah dan wadi’ah yad dhamanah;
2.
Pola Pinjaman, seperti qardh dan qardhul hasan;
3.
Pola Bagi Hasil, seperti mudharabah dan musharakah;
4.
Pola Jual Beli, seperti murabahah, salam, dan istishna;
5.
Pola Sewa, seperti ijarah dan ijarah wa iqtina; dan
6.
Pola Lainnya, seperti wakalah, kafalah, hiwalah, ujr, sharf, dan rahn.
1. Akad Pola Titipan
Akad berpola titipan (Wadi’ah) ada dua,
yaitu Wadi’ah yad Amanah dan Wadi’ah yad Dhamanah.
1.
Titipan Wadi’ah yad Amanah
Secara umum Wadi’ah adalah titipan murni
dari pihak penitip (muwaddi’) yang mempunyai barang/aset kepada pihak penyimpan
(mustawda’) yang diberi amanah/kepercayaan, baik individu maupun badan hukum,
tempat barang yang dititipkan harus dijaga dari kerusakan, kerugian, keamanan,
dan keutuhannya, dan dikembalikan kapan saja penyimpan menghendaki. Barang/aset
yang dititipkan adalah sesuatu yang berharga yang dapat berupa uang, barang,
dokumen, surat berharga, atau barang berharga lainnya. Dalam konteks ini, pada
dasarnya pihak penyimpan (custodian) sebagai penerima kepercayaan (trustee)
adalah yad al-amanah ‘tangan amanah’ yang berarti bahwa ia tidak diharuskan
bertanggung jawab jika sewaktu dalam penitipan terjadi kehilangan atau
kerusakan pada barang/aset titipan, selama hal ini bukan akibat dari kelalaian
atau kecerobohan yang bersangkutan dalam memelihara barang/aset titipan. Biaya
penitipan boleh dibebankan kepada pihak penitip sebagai kompensasi atas
tanggung jawab pemeliharaan. Dengan prinsip ini, pihak penyimpan tidak boleh
menggunakan atau memanfaatkan.
2.
Titipan Wadi’ah yad Dhamanah
Dari prinsip yad al-amanah ‘tangan
amanah’ kemudian berkembang prinsip yadhdhamanah ‘tangan penanggung’ yang
berarti bahwa pihak penyimpan bertanggung jawab atas segala kerusakan atau
kehilangan yang terjadi pada barang/aset titipan. Hal ini berarti bahwa pihak
penyimpan atau custodian adalah trustee yang sekaligus guarantor ‘penjamin’
keamanan barang/aset yang dititipkan. Ini juga berarti bahwa pihak penyimpan
telah mendapatkan izin dari pihak penitip untuk mempergunakan barang/aset yang
dititipkan tersebut untuk aktivitas perekonomian tertentu, dengan catatan bahwa
pihak penyimpan akan mengembalikan barang/aset yang dititipkan secara utuh pada
saat penyimpan menghendaki. Hal ini sesuai dengan anjuran dalam Islam agar aset
selalu diusahakan untuk tujuan produktif (tidak idle atau didiamkan saja).
Dengan prinsip ini, penyimpan boleh mencampur aset penitip dengan aset
penyimpan atau aset penitip yang lain, dan kemudian digunakan untuk tujuan
produktif mencari keuntungan. Pihak penyimpan berhak atas keuntungan yang
diperoleh dari pemanfaatan aset titipan dan bertanggung jawab penuh atas risiko
kerugian yang mungkin timbul. Selain itu, penyimpan diperbolehkan juga atas
kehendak sendiri memberikan bonus kepada pemilik aset tanpa akad perjanjian
yang mengikat sebelumnya.
Sementara
itu, syarat Wadi’ah yang harus dipenuhi adalah syarat bonus sebagai
berikut:
1)
Bonus merupakan kebijakan (hak prerogatif) penyimpan; dan
2)
Bonus tidak disyaratkan sebelumnya.
Prinsip
Wadi’ah yad Dhamanah inilah yang secara luas kemudian diaplikasikan dalam
dunia
perbankan Islam dalam bentuk produk-produk pendanaannya, yaitu:
1)
Giro (current account) Wadi’ah
2)
Tabungan (savings account) Wadi’ah
Beberapa
ketentuan Wadi’ah Yad Dhamanah, antara lain:
1)
Penyimpan memiliki hak untuk menginvestasikan asset yang dititipkan;
2)
Penitip memiliki hak untuk mengetahui bagaimana assetnya diinvestasikan;
3)
Penyimpan menjamin hanya nilai pokok jika modal bekurang karena
merugi/terdepresiasi;
4)
Setiap keuntungan yang diperoleh penyimpan dapat dibagikan sebagai hibah atau
hadiah (bonus). Hal itu berarti bahwa penyimpan (bank) tidak memiliki kewajiban
mengikat untuk membagikan keuntungan yang diperolehnya; dan
5)
Penitip tidak memiliki hak suara.
Simpanan
dengan prinsip wadi’ah yad dhamanah mempunyai potensi untuk bermasalah dalam
beberapa hal, yaitu:
Masalah 1: Investasi yang terbatas. Utilisasi asset: Untuk melindungi kerugian
modal, penyimpan (bank) tidak dapat menginvestasikan dana wadi’ah yad dhamanah
pada proyek-proyek berisiko tinggi dengan profit tinggi sehingga penyimpan
terlalu bergantung pada investasi berisiko rendah dengan profit rendah
(murabahah);
Masalah 2: Distribusi profit menguntungkan penyimpan. Penitip berada pada
posisi belas kasih penyimpan (bank) karena penyimpan secara legal tidak
diwajibkan untuk mendistribusi profit yang diperoleh. Bank dapat memberikan
hibah (bonus) rendah meskipun mereka memperoleh profit yang tinggi.
Masalah 3: Mencampur dana simpana dengan modal.
2. Akad Pola Pinjaman
Satu-satunya akad berbentuk pinjaman
yang diterapkan dalam perbankan syariah adalah Qardh dan turunannya Qardhul
Hasan. Karena bunga dilarang dalam Islam, maka pinjaman Qardh maupun Qardhul
Hasan merupakan pinjaman tanpa bunga. Lebih khusus lagi, pinjaman Qardhul Hasan
merupakan pinjaman kebajikan yang tidak bersifat komersial, tetapi bersifat
sosial.
Qardh merupakan pinjaman kebajikan/lunak
tanpa imbalan, biasanya untuk pembelian barang-barang fungible (yaitu barang
yang dapat diperkirakan dan diganti sesuai berat, ukuran, dan jumlahnya). Kata
qardh ini kemudian diadopsi menjadi credo (romawi), credit (Inggris), dan
kredit (Indonesia). Objek dari pinjaman qardh biasanya adalah uang atau alat
tukar lainnya (Saleh, 1992), yang merupakan transaksi pinjaman murni tanpa
bunga ketika peminjam mendapatkan uang tunai dari pemilik dana (dalam hal ini
bank) dan hanya wajib mengembalikan pokok hutang pada waktu tertentu di masa
yang akan datang. Peminjam atas prakarsa sendiri dapat mengembalikan lebih
besar sebagai ucapan terimakasih. Ulama-ulama tertentu membolehkan pemberi
pinjaman untuk membebani biaya jasa pengadaan pinjaman. Biaya jasa ini bukan
merupakan keuntungan, melainkan merupakan biaya aktual yang dikeluarkan oleh
pemberi pinjaman, seperti biaya sewa gedung, gaji pegawai, dan peralatan kantor
(Al-Omar dan Abdel-Haq, 1996).
Hukum Islam memperbolehkan pemberi pinjaman
untuk meminta kepada peminjam untuk membayar biaya-biaya operasi di luar
pinjaman pokok, tetapi agar biaya ini tidak menjadi bunga terselubung komisi
atau biaya ini tidak boleh dibuat proporsional terhadap jumlah pinjaman
(Ashker, 1987). Akad ini terutama digunakan oleh IDB ketika memberikan pinjaman
lunak kepada pemerintah. Biaya jasa ini pada umumnya tidak lebih dari 2,5
persen, dan selama ini berkisar antara 1–2 persen. Dalam aplikasinya di
perbankan syariah, qardh biasa digunakan untuk menyediakan dana talangan kepada
nasabah prima dan untuk menyumbang sektor usaha kecil/mikro atau membantu
sektor sosial. Dalam hal yang terakhir, skema pinjamannya disebut qardhul
hasan. Qardh dapat digunakan sebagai akad simpanan dan dapat pula digunakan
sebagai akad pembiayaan.
3. Akad Pola Bagi Hasil
Akad bank syariah yang utama dan paling
penting yang disepakati oleh para ulama adalah akad dengan pola bagi hasil
dengan prinsip mudharabah (trustee profit sharing) dan musyarakah (joint
venture profit sharing). Prinsipnya adalah al-ghunm bi’l-ghurm atau al-kharãj
bi’l-damãn, yang berarti bahwa tidak ada bagian keuntungan tanpa ambil bagian
dalam risiko (Al-Omar dan Abdel-Haq, 1996), atau untuk setiap keuntungan
ekonomi riil harus ada biaya ekonomi riil (Khan, 1995). Masalah bagi hasil dan
partnership telah dibahas oleh Muhammad bin Hasan Al Syaibani yang hidup pada
132 – 189 AH / 750 – 804 AD (MN Shiddiqi dalam Karim, 2002) dalam konteks
perbankan Islam modern. Konsep bagi hasil yang digambarkan dalam buku Fiqih pada
umumnya diasumsikan bahwa para pihak yang bekerja sama bermaksud untuk memulai
atau mendirikan suatu usaha patungan (joint venture) ketika semua mitra usaha
turut berpartisipasi sejak awal beroperasi dan tetap menjadi mitra usaha sampai
usaha berakhir pada waktu semua aset dilikuidasi. Jarang sekali ditemukan
konsep usaha yang terus berjalan (running business) ketika mitra usaha bisa
datang dan pergi setiap saat tanpa mempengaruhi jalannya usaha. Hal ini
disebabkan buku-buku Fiqih Islam ditulis pada waktu usaha tidak sebesar dan
serumit usaha zaman sekarang, sehingga konsep “running business” tidak mendapat
perhatian. Namun demikian, itu tidak berarti bahwa konsep bagi hasil tidak
dapat diterapkan untuk pembiayaan suatu usaha yang sedang berjalan.
Konsep
bagi hasil berlandaskan pada beberapa prinsip dasar. Selama prinsip-prinsip
dasar ini dipenuhi, detail dari aplikasinya akan bervariasi dari waktu ke
waktu. Ciri utama pola bagi hasil adalah bahwa keuntungan dan kerugian
ditanggung bersama baik oleh pemilik dana maupun pengusaha. Beberapa prinsip
dasar konsep bagi hasil yang dikemukakan oleh Usmani (1999), adalah sebagai
berikut :
1.
Bagi hasil tidak berarti meminjamkan uang, tetapi merupakan partisipasi dalam
usaha.
Dalam hal musyarakah, keikutsertaan aset dalam usaha hanya sebatas
proporsi
pembiayaan masing-masing pihak.
2.
Investor atau pemilik dana harus ikut menanggung risiko kerugian usaha sebatas
proporsi
pembiayaannya.
3.
Para mitra usaha bebas menentukan, dengan persetujuan bersama, rasiokeuntungan
untuk masing-masing pihak, yang dapat berbeda dari rasio
pembiayaan
yang disertakan.
4.
Kerugian yang ditanggung oleh masing-masing pihak harus sama dengan
proporsi
investasi mereka.
1. Musyarakah
Musyarakah merupakan istilah yang sering
dipakai dalam konteks skim pembiayaan
Syariah.
Istilah ini berkonotasi lebih terbatas dari pada istilah syirkah yang lebih
umum
digunakan
dalan fikih Islam (Usmani, 1999). Syirkah berarti sharing ‘berbagi’, dan di
dalam
terminologi Fikih Islam dibagi dalam dua jenis.
a)
Syirkah al-milk atau syirkah amlak atau syirkah kepemilikan, yaitu kepemilikan
bersama
dua pihak atau lebih dari suatu properti; dan
b)
Syirkah al-‘aqd atau syikah ‘ukud atau syirkah akad, yang berarti kemitraan
yang
terjadi
karena adanya kontrak bersama, atau usaha komersial bersama. Syirkah
al-‘aqd
sendiri ada empat (Mazhab Hambali memasukkan syirkah mudharabah
sebagai
syirkah al-‘aqd yang kelima), satu yang disepakati dan tiga yang
diperselisihkan,
yaitu:
Syirkah al-amwal atau syirkah al-‘Inan, yaitu usaha komersial bersama ketika
semua
mitra usaha ikut andil menyertakan modal dan kerja, yang tidak harus
sama
porsinya, ke dalam perusahaan. Para ulama sepakat membolehkan
bentuk
syirkah ini.
Syirkah al-mufawadhah, yaitu usaha komersial bersama dengan syarat adanya
kesamaan pada penyertaan modal, pembagian keuntungan, pengelolaan, kerja, dan
orang. Mazhab Hanafi dan Maliki membolehkan bentuk syirkah ini. Sementara itu,
mazhab Syafi’i dan Hambali melarangnya karena secara realita sukar terjadi
persamaan pada semua unsurnya, dan banyak mengandung unsur gharar atau
ketidakjelasan.
Syirkah al-a’mal atau syirkah Abdan, yaitu usaha komersial bersama ketika semua
mitra usaha ambil bagian dalam memberikan jasa kepada pelanggan. Jumhur
(mayoritas) ulama, yaitu dari mazhab Hanafi, Maliki dan Hambali, membolehkan
bentuk syirkah ini. Sementara itu, mazhab Syafi’i melarangnya karena mazhab ini
hanya membolehkan syirkah modal dan tidak boleh syirkah kerja. Syirkah al-wujuh
adalah usaha komersial bersama ketika mitra tidak mempunyai investasi sama
sekali. Mereka membeli komoditas dengan pembayaran tangguh dan menjualnya
tunai. Mazhab Hanafi dan Hambali membolehkan bentuk syirkah ini, sedangkan
mazhab Maliki dan Syafi’i melarangnya. Istilah musharakah tidak ada dalam Fikih
Islam, tetapi baru diperkenalkan belum lama ini oleh mereka yang menulis
tentang skim-skim pembiayaan Syariah yang biasanya terbatas pada jenis syirkah
tertentu, yaitu syirkah al-amwal yang dibolehkan oleh semua ulama.
Musyarakah merupakan akad bagi hasil
ketika dua atau lebih pengusaha pemilik dana/modal bekerja sama sebagai mitra
usaha, membiayai investasi usaha baru atau yang sudah berjalan. Mitra usaha
pemilik modal berhak ikut serta dalam manajemen perusahaan, tetapi itu tidak
merupakan keharusan. Para pihak dapat membagi pekerjaan mengelola usaha sesuai
kesepakatan dan mereka juga dapat meminta gaji/upah untuk tenaga dan keahlian
yang mereka curahkan untuk usaha tersebut. Proporsi keuntungan dibagi di antara
mereka menurut kesepakatan yang ditentukan sebelumnya dalam akad sesuai dengan
proporsi modal yang disertakan (pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i), atau
dapat pula berbeda dari proporsi modal yang mereka sertakan (pendapat Imam Ahmad).
Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa proporsi keuntungan dapat berbeda
dari proporsi modal pada kondisi normal. Namun demikian, mitra yang memutuskan
menjadi sleeping partner, proporsi keuntungannya tidak boleh melebihi proporsi
modalnya. Sementara itu, kerugian, apabila terjadi, akan ditanggung bersama
sesuai dengan proporsi penyertaan modal masing-masing (semua ulama sepakat
dalam hal ini). Dapat diambil kesimpulan bahwa dalam musyarakah keuntungan
dibagi berdasarkan kesepakatan para pihak, sedangkan kerugian ditanggung
bersama sesuai dengan proporsi penyertaan modal masing-masing pihak. Penyertaan
modal dari para mitra usaha harus berupa uang (pendapat Imam Abu Hanifah dan
Imam Ahmad), atau berupa uang atau barang (pendapat Imam Malik). Sementara itu,
Iman Syafi’i memerinci bahwa barang yang dapat disertakan dalam modal adalah
barang yang dapat diukur kualitas dan kuantitasnya sehingga dapat diganti kalau
ada kerusakan. Barang ini biasa disebut dhawat-ul-amthal atau fungible goods,
bukan dhawat-ul-qeemah yang sulit diukur kualitas dan kuantitasnya.
Dapat diambil kesimpulan bahwa modal
musharakah dapat berupa uang atau barang yang dinilai pada harga pasar saat
perjanjian. Musyarakah pada umumnya merupakan perjanjian yang berjalan terus
sepanjang usaha yang dibiayai bersama terus beroperasi. Meskipun demikian,
perjanjian musyarakah dapat diakhiri dengan atau tanpa menutup usaha. Apabila
usaha ditutup dan dilikuidasi, maka masing-masing mitra usaha mendapat hasil
likuidasi aset sesuai nisbah penyertaannya. Apabila usaha terus berjalan, maka
mitra usaha yang ingin mengakhiri perjanjian dapat menjual sahamnya ke mitra
usaha yang lain dengan harga yang disepakati bersama. Rukun dari akad
musyarakah yang harus dipenuhi dalam transaksi ada beberapa, yaitu:
1)
Pelaku akad, yaitu para mitra usaha;
2)
Objek akad, yaitu modal (maal), kerja (dharabah), dan keuntungan (ribh); dan
3)
Shighah, yaitu Ijab dan Qabul.
Beberapa
syarat pokok musyarakah menurut Usmani (1998) antara lain:
a)
Syarat akad. Karena musyarakah merupakan hubungan yang dibentuk oleh
para
mitra melalui kontrak/akad yang disepakati bersama, maka otomatis empat
syarat
akad yaitu 1) syarat berlakunya akad (In’iqod); 2) syarat sahnya akad
(Shihah);
3) syarat terealisasikannya akad (Nafadz); dan 4) syarat Lazim juga harus
dipenuhi.
Misalnya, para mitra usaha harus memenuhi syarat pelaku akad (ahliyah
dan
wilayah), akad harus dilaksanakan atas persetujuan para pihak tanpa adanya
tekanan,
penipuan, atau penggambaran yang keliru, dan sebagainya.
b)
Pembagian proporsi keuntungan. Dalam pembagian proporsi keuntungan
harus
dipenuhi hal-hal berikut.
(1)
Proporsi keuntungan yang dibagikan kepada para mitra usaha harus
disepakati
di awal kontrak/akad. Jika proporsi belum ditetapkan, akad tidak
sah
menurut Syariah.
(2)
Rasio/nisbah keuntungan untuk masing-masing mitra usaha harus ditetapkan sesuai
dengan keuntungan nyata yang diperoleh dari usaha, dan tidak ditetapkan
berdasarkan modal yang disertakan. Tidak diperbolehkan untuk menetapkan lumsum
untuk mitra tertentu, atau tingkat keuntungan tertentu
2. Mudharabah
Secara singkat mudharabah atau penanaman
modal adalah penyerahan modal uang
kepada
orang yang berniaga sehingga ia mendapatkan persentase keuntungan (Al-
Mushlih
dan Ash-Shawi, 2004). Sebagai suatu bentuk kontrak, mudharabah merupakan akad
bagi hasil ketika pemilik dana/modal (pemodal), biasa disebut shahibul
maal/rabbul maal, menyediakan modal (100 persen) kepada pengusaha sebagai
pengelola, biasa disebut mudharib, untuk melakukan aktivitas produktif dengan
syarat bahwa keuntungan yang dihasilkan akan dibagi di antara mereka menurut
kesepakatan yang ditentukan sebelumnya dalam akad (yang besarnya juga
dipengaruhi oleh kekuatan pasar). Shahibul maal (pemodal)
adalah
pihak yang memiliki modal, tetapi tidak bisa berbisnis, dan mudharib (pengelola
atau
entrepreneur) adalah pihak yang pandai berbisnis, tetapi tidak memiliki modal.
Apabila terjadi kerugian karena proses normal dari usaha, dan bukan karena
kelalaian atau ecurangan pengelola,
kerugian ditanggung sepenuhnya oleh pemilik modal, sedangkan pengelola
kehilangan tenaga dan keahlian yang telah dicurahkannya. Apabila terjadi
kerugian karena kelalaian dan kecurangan pengelola, maka pengelola bertanggung
jawab sepenuhnya. Pengelola tidak ikut menyertakan modal, tetapi menyertakan
tenaga dan keahliannya, dan juga tidak meminta gaji atau upah dalam menjalankan
usahanya. Pemilik dana hanya menyediakan modal dan tidak dibenarkan untuk ikut
campur dalam manajemen usaha yang dibiayainya. Kesediaan pemilik dana untuk
menanggung risiko apabila terjadi kerugian menjadi dasar untuk mendapat bagian
dari keuntungan. Dalam satu kontrak mudharabah pemodal dapat bekerja sama
dengan lebih dari satu pengelola. Para pengelola tersebut seperti bekerja
sebagai mitra usaha terhadap pengelola yang lain. Nisbah (porsi) bagi hasil
pengelola dibagi sesuai kesepakatan dimuka. Nisbah bagi hasil antara pemodal
dan pengelola harus disepakati di awal perjanjian. Besarnya nisbah bagi hasil
masing-masing pihak tidak diatur dalam Syariah, tetapi tergantung kesepakatan
mereka. Nisbah bagi hasil bisa dibagi rata 50:50, tetapi bisa juga 30:70,
60:40, atau proporsi lain yang disepakati. Pembagian keuntungan yang tidak
diperbolehkan adalah dengan menentukan alokasi jumlah tertentu untuk salah satu
pihak. Diperbolehkan juga untuk menentukan proporsi yang berbeda untuk situasi
yang berbeda. Misalnya, jika pengelola berusaha di bidang produksi, maka
nisbahnya 50 persen, sedangkan kalau pengelola berusaha di bidang
perdagangan, maka nisbahnya 40 persen.
Di luar porsi bagi hasil yang diterima pengelola, pengelola tidak diperkenankan
meminta gaji atau kompensasi lainnya untuk hasil kerjanya. Semua mazhab sepakat
dalam hal ini. Namun demikian, Imam Ahmad memperbolehkan pengelola untuk
mendapatkan uang makan harian dari rekening mudharabah. Ulama dari mazhab Hanafi
memperbolehkan pengelola untuk mendapatkan uang harian (seperti untuk
akomodasi, makan, dan transpor) apabila dalam perjalanan bisnis ke luar kota. Sementara
itu, syarat-syarat khusus yang harus dipenuhi dalam mudharabah terdiri
dari
syarat modal dan keuntungan. Syarat modal, yaitu:
1)
Modal harus berupa uang;
2)
Modal harus jelas dan diketahui jumlahnya;
3)
Modal harus tunai bukan hutang; dan
4)
Modal harus diserahkan kepada mitra kerja.
Sedangkan syarat keuntungan, yaitu
keuntungan harus jelas ukurannya; dan keuntungan harus dengan pembagian yang
disepakati kedua belah pihak. Syarat lain akad mudharabah muqayyadah
‘executing’ (on balance sheet) dan mudharabah muqayyadah ‘channeling’ (off
balance sheet) adalah sebagai berikut.
Mudharabah muqayyadah on balance sheet (executing):
Pemodal
menetapkan syarat;
Kedua
pihak sepakat dengan syarat usaha, keuntungan;
Bank
menerbitkan bukti investasi khusus; dan
Bank
memisahkan dana.
Mudharabah muqayyadah off balance sheet (channeling):
Penyaluran
langsung ke nasabah;
Bank
menerima komisi;
Bank
menerbitkan bukti investasi khusus; dan
Bank
mencatat di rekening administrasi.
4. Akad Pola Jual Beli
Jual beli (buyu’, jamak dari bai’) atau
perdagangan atau perniagaan atau trading secara terminologi Fiqih Islam berarti
tukar menukar harta atas dasar saling ridha (rela), atau memindahkan
kepemilikan dengan imbalan pada sesuatu yang diizinkan (Santoso, 2003). Jual
beli dibolehkan Syariah berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma’ (konsensus)
para ulama. Dalam QS 2:275 disebutkan bahwa “Allah menghalalkan perniagaan
(albai’) dan mengharamkan riba”. Sedangkan dalam QS 4:29 disebutkan “Hai
orangorang yang beriman, janganlah kamu makan harta sesamamu dengan jalan yang
batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka
sama suka di antara kamu”.
1. Murabahah
Murabahah adalah istilah dalam Fiqih
Islam yang berarti suatu bentuk jual beli tertentu ketika penjual menyatakan
biaya perolehan barang, meliputi harga barang dan biayabiaya lain yang
dikeluarkan untuk memperoleh barang tersebut, dan tingkat keuntungan (margin)
yang diinginkan. Tingkat keuntungan ini bisa dalam bentuk lumpsum atau
persentase tertentu dari biaya perolehan. Pembayaran bisa dilakukan secara spot
(tunai) atau bisa dilakukan di kemudian hari yang disepakati bersama. Oleh
karena itu, murabahah tidak denga sendirinya mengandung konsep pembayaran
tertunda (deferred payment), seperti yang secara umum dipahami oleh sebagian orang yang mengetahui
murabahah hanya dalam hubungannya dengan transaksi pembiayaan di perbankan
syariah, tetapi tidak memahami Fiqih Islam.
2. Salam
Salam merupakan bentuk jual beli dengan
pembayaran di muka dan penyerahan
barang
di kemudian hari (advanced payment atau forward buying atau future sales)
dengan
harga, spesifikasi, jumlah, kualitas, dan tanggal dan tempat penyerahan yang
jelas,
serta disepakati sebelumnya dalam perjanjian. Barang yang diperjualbelikan
belum tersedia pada saat transaksi dan harus diproduksi terlebih dahulu,
seperti produk-produk pertanian dan produk-produk fungible (barang yang dapat
diperkirakan dan diganti sesuai berat, ukuran, dan jumlahnya) lainnya.
Barang-barang non-fungible seperti batu mulia, lukisan berharga, dan lain-lain
yang merupakan barang langka tidak dapat dijadikan obyek salam (Al-Omar dan
Abdel-Haq, 1996). Risiko terhadap barang yang diperjualbelikan masih berada
pada penjual sampai waktu penyerahan barang. Pihak pembeli berhak untuk
meneliti\ dan dapat menolak barang yang akan diserahkan apabila tidak sesuai
dengan spesifikasi awal yang disepakati. Salam diperbolehkan oleh Rasululluah
SAW dengan beberapa syarat yang harus dipenuhi. Tujuan utama dari jual beli
salam adalah untuk memenuhi kebutuhan para petani kecil yang memerlukan modal
untuk memulai masa tanam dan untuk menghidupi
eluarganya sampai waktu panen tiba. Setelah pelarangan riba, mereka
tidak dapat lagi mengambil pinjaman ribawi untuk keperluan ini sehingga
diperbolehkan bagi mereka untuk menjual produk pertaniannya di muka.
3. Istishna
Istishna adalah memesan kepada perusahaan
untuk memproduksi barang atau komoditas tertentu untuk pembeli/pemesan.
Istishna merupakan salah satu bentuk jual beli dengan pemesanan yang mirip
dengan salam yang merupakan bentuk jual beli forward kedua yang dibolehkan oleh
Syariah. Jika perusahaan mengerjakan untuk memproduksi barang yang dipesan
dengan bahan baku dari perusahaan, maka kontrak/akad istishna muncul. Agar akad
istishna menjadi sah, harga harus ditetapkan di awal sesuai kesepakatan dan
barang harus memiliki spesifikasi yang jelas yang telah disepakati bersama.
Dalam istishna pembayaran dapat di muka, dicicil sampai selesai, atau di
belakang, serta istishna biasanya diaplikasikan untuk industri dan barang
manufaktur.
5. Akad Pola Sewa
Transaksi nonbagi hasil selain yang
berpola jual beli adalah transaksi berpola sewa atau ijarah. Ijarah, biasa juga
disebut sewa, jasa, atau imbalan, adalah akad yang dilakukan atas dasar suatu
manfaat dengan imbalan jasa. Ijarah adalah istilah dalam Fikih Islam dan
berarti memberikan sesuatu untuk disewakan. Menurut Sayyid Sabiq, ijarah adalah
suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian. Jadi,
hakekatnya ijarah adalah penjualan manfaat.
Sewa atau ijarah dapat dipakai sebagai
bentuk pembiayaan, pada mulanya bukan merupakan bentuk pembiayaan, tetapi
merupakan aktivitas usaha seperti jual beli. Individu yang membutuhkan
pembiayaan untuk membeli aset dapat mendatangi pemilik dana (dalam hal ini
bank) untuk membiayai pembelian aset produktif. Pemilik dana kemudian membeli
barang dimaksud dan kemudian menyewakannya kepada yang membutuhkan aset
tersebut. Bentuk pembiayaan ini merupakan salah satu teknik pembiayaan ketika
kebutuhan \ pembiayaan investor untuk membeli aset terpenuhi, dan investor
hanya membayar sewa pemakaian tanpa harus mengeluarkan modal yang cukup besar
untuk membeli aset tersebut.
6. Akad Pola Lainnya
Selain pola-pola yang telah dijelaskan,
masih ada jenis akad lain yang biasa digunakan perbankan syariah, yaitu:
1. Wakalah
Wakalah (deputyship), atau biasa disebut
perwakilan, adalah pelimpahan kekuasaan
oleh
satu pihak (muwakil) kepada pihak lain (wakil) dalam hal-hal yang boleh
diwakilkan. Atas jasanya, maka penerima kekuasaan dapat meminta imbalan
tertentudari pemberi amanah.
2. Kafalah
Kafalah (Guaranty) adalah jaminan,
beban, atau tanggungan yang diberikan oleh penanggung (kaafil) kepada pihak
ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung (makful).
Kafalah dapat juga berarti mengalihkan tanggung jawab seseorang yang dijamin
dengan berpegang pada tanggung jawab orang lain sebagai penjamin. Atas jasanya
penjamin dapat meminta imbalan tertentu dari orang yang dijamin. Jadi, secara
singkat kafalah berarti mengalihkan tanggung jawab seseorang kepada orang lain
dengan imbalan.
3. Hawalah
Hawalah (Transfer Service) adalah
pengalihan hutang/piutang dari orang yang berhutang/berpiutang kepada orang
lain yg wajib menanggungnya/menerimanya.
4. Rahn
Rahn (Mortgage) adalah pelimpahan
kekuasaan oleh satu pihak kepada pihak lain (bank) dalam hal-hal yang boleh
diwakilkan. Atas jasanya, maka penerima kekuasaan dapat meminta imbalan
tertentu dari pemberi amanah.
5. Sharf
Sharf adalah jual beli suatu valuta
dengan valuta lain.
6. Ujr
Ujr adalah imbalan yang diberikan atau
yang diminta atas suatu pekerjaan yang
dilakukan.
Akad ujr diaplikasikan dalam produk-produk jasa keuangan bank syariah (fee
based services), seperti untuk penggajian, penyewaan safe deposit box, penggunaan
ATM, dan sebagainya.
Menurut buku Islamic Banking jenis akad
yang diterapkan oleh bank syariah dibagi
3 kelompok yaitu :
1. Financing
2. Funding
3. Service Provision
1. Financing
Financing
diklasifikasikan menjadi 4 yaitu :
1. Financing Jual Beli
2. Financing Penyewaan
3. Financing pembagian pendapatan
4. Financing kontrak pelengkap
1. Financing jual beli
Prinsip jual beli diterapkan sehubungan
dengan terjadinya pengalihan kepemilikan atas properti. Margin keuntungan bank
adalah tetap dan telah ditentukan dan merupakan elemen dari harga properti
dijual.
Financing jual beli dibedakan menjadi
:
a. Murabahah financing
Istilah yang berasal dari “ribhu”,
murabahah adalah transaksi penjualan dan pembelian dimana bank mengungkapkan
dengan margin keuntungan kepada klien. Dibawah murabahah bank bertindak sebagai
penjual dan klien sebagai pembeli. Harga jual bank sama dengan hargapembeli
dari pemasok, meskipun ditambah margin keuntungan. Agar akad murabahah sah,
kedua belah pihak harus setuju dengan harga dan waktu pembayaran. Sementara
itu, harga jual dikutip dalam kontrak dan, setelah itu sepakat, tidak boleh
dirubah dalam periode kontrak ini
b. Salam financing
Salam adalah transaksi penjualan dan
pembelian dimana objek atau properti transaksi yang belum ada. Pengiriman benda
biasanya ditangguhkan, sementara pembayaran dilakukan secara tunai. Sepintas,
tampaknya ini menyerupai transaksi memajukan penjualan, namun, dibawah
transaksi salam, quantiti, qualiti, harga dan waktu harus tetap dan sesuai yang
telah ditentukan. Agar akad salam sah, harga jual harus dikutip dalam penjualan
dan pembelian kontrak, jika sudah disepakati, kontrak ini tidak bisa dirubah
dalam satu periode.
c. Istishna financing
Istishna financing hampir mirip dengan
salam financing. Perbedaannya pembayaran salam financing harus tunai sedangkan
istishna bisa dicicil beberapa kali. Perbankan syariah berdasakan skema
istishna ini biasanya berlaku dalam pembiayaan usaha manufaktur dan kontruksi.
Agar akad istishna sah, harga jual perlu dikutip dalam kontrak yang mana jika
telah disetujui tidak dapat dirubah seumur hidup. Namun jika setelah penandatanganan
kontrak terjadi perubahan harga barang dan harga diluar kriteria yang telah di
setujui maka semua biaya ditanggung oleh klien.
2. Financing penyewaan
Transaksi ijarah/penyewaan tidak jauh
berbeda dari penjualan dan pembelian. Perbedaannya terletak pada objek
transaksi. Ketika dalam penjualan dan pembelian objek transaksinya adalah
barang, dalam ijarah objek transaksinya adalah jasa. Akad ijarah terjadi
apabila biaya sewa dan harga jual telah ditetapkan pada kontrak.
3. Financing pembagian pendapatan
Pembagian pendapatan ini dibagi menjadi
2 jenis yaitu :
a. Musyarakah financing
Musyarakah financing suatu akad antara
dua pihak atau lebih, yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan
memperoleh keuntungan. Musyarakah merupakan tindakan hukum diantara pihak yang
melakukan kerjasama untuk menjalankan usaha berdasarkan prinsip bagi hasil
sesuai kesepakatan mereka.
b. Mudharabah financing
Mudharabah financing merupakan suatu
akad persekutuan yang membolehkan shahibul mal(pemilik modal) menyerahkan harta
kepada madharib(pengelola) untuk menjalankan suatu usaha.
4. Financing Kontrak pelengkap
Kontrak pelengkap ini tidak bermaksud
untuk mencari keuntunga, melainkan digunakan untuk mempermudah pembiayaan.dalam
kontrak pelengkap ini dibagi menjadi 5 yaitu :
a. Hilawah
Hilawah merupakan akad yang digunakan
untuk memindahkan utang dari orang yang mengalami kesulitan kepada orang yang
mampu membayarnya. Untuk mengantisipasi potensi kerugian, bank perlu
menganalisis kapasitas pihak yang berhutang dan melakukan verifikasi atas
transaksi antara pihak yang transfer kredit dengang pihak yang berhutang.
b. Rahn
Rahn merupakan suatu akad yang
menjadikan barang sebagai jaminan terhadap suatu hak piutang. Tujuan dari rahn
yntuk menyediakan jaminan pembayaran kembali kepada bank dalam menyediakan
pembiayaan.
c. Qardh
Qardh adalah harta yang dipinjamkan
seseorang kepada orang lain untuk dikembalikan setelah memiliki kemampuan.
Dalam bank syariah biasanya diaplikasikan dalam 4 tujuan :
I. Untuk perjalanan zarah. Pinjaman
diberikan sebesar perjalanan ziarah.
II. Uang muka dari kartu kredit syariah,
dimana klien diberikan fleksibelitas dalam penarikan uang tunai melalui atm.
III. Pinjaman untuk bisnis kecil
IV. Pinjaman untuk pegawai bank syariah
tersebut.
d. Wakalah
Dalam konteks perbankan, wakalah tibul
ketika klient memberikan kuasa kepada bank untuk mewakili dia dalam
melaksanakan pekerjaan tertentu, seperti transfer uang.
e. Kafalah
Kafalah merupakan bank garansi. Bank
garansi dapat disediakan untuk keamanan pembayaran atas kewajiban pembayaran
tertentu.
2. Funding
Pendanaan dalam bank syariah bisa
berbentuk giro, tabungan dan deposito berjangka. Pendanaan dalam islam biasanya
adalah wadi’ah dan mudharabah. Karena mudharabah sudah dijelaskan di atas maka
tidak dijelaskan lagi disini.
Wardiah diterapkan dalam praktik
perbankan berbentuk giro yang memiliki karakteristik yard dnamanah, akad ini
mirip dengan qard, perbedaannya adalah klien bertindak sebagai penitip,
sedangkan bank sebagai penerima.
3. Banking services
Selain melakukan fungsi intermediasi
dalam menghubungkan antara deficit unit dengan surplus unit, bank syariah juga
dapat memberikan layanan perbankan lainnya kepada klien dimana bank dihargai
dengan biaya sewa atau keuntungan. Layanan perbankan ini ada sharf dan ijarah
namun karena ijarah telah dijelaskan di atas maka tidak dijelaskan pada sub
judul ini.
Sharf merupakan membeli atau menjual
valuta asing dari berbagai jenis harus di transaksikan pada saat yang sama.
2. Pembahasan
1. Pengertian Akad
Akad adalah suatu ikatan atau perjanjian
antara suatu pihak dengan pihak yang lain dan menimbulkan suatu kewajiban
dengan menggunakan nilai- nilai syariah islam. Selain akad dalam kontrak atau
perjanjian dalam islampun ada wa’ad. Wa’ad adalah perjanjian yang dilakukan
oleh seseorangkepada orang lain.
2. Rukun dan Syarat akad
Dalam
akad harus ada rukun serta syaratnya agar akad itu bisa terlaksana.
Akad
memiliki 3 rukun diantaranya :
1. Pelaku Akad
Pelaku
adalah orang yang akan melakukan akad tersebut.
2. Objek Akad
Objek
merupakan barang yang akan disepakati tersebut.
3. Pernyataan Akad (Shighah)
Pernyataan
akad merupakan ucapan dari pelaku untuk melakukan akad yang biasa disebut ijab
qabul.
Syarat
akad yaitu :
1. Al-in’iqad
syarat
ini berupa ketentuan umum persyaratan yang terdapat dalam rukun akad serta
persyaratan yang tidak ada dalam rukun akad
2. Ash-shihhah
Syarat
ini adalah persyaratan yang telah ditetapkan oleh hukum syara’ dan harus
terpenuhi untuk menentukan ada atau tidaknya akibat hukum yang ditimbulkan
akad.
3. Al-luzum
Syarat
ini merupakan persyaratan yang di tetapkan oleh syara’ berkenaan dengan
kepastian sebuah akad.
4. An-nafadz
Syarat
ini merupakan persyaratan yang berkenaan dengan berlakunya/ditangguhkan. Syarat
ini harus sudah memenuhi kecakapan untuk bertindak hukum serta memiliki
kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum
3. Jenis-Jenis Akad yang Diterapkan Dalam
Bank Syariah
Akad
dalam bank syariah ada 6 jenis pola yaitu terdiri dari :
1. Pola jual beli
Akad jual beli merupakan suatu kontrak
yang melibatkan pertukaran harta benda dengan ikhlas dan sesuai hukum syara.
Prinsip jual beli diterapkan sehubungan dengan terjadinya pengalihan
kepemilikan atas properti. Margin keuntungan bank ditetap dan telah ditentukan
yang merupakan elemen dari harga properti dijual.Pola jual beli ini terdiri
dari murabahah, salam, dan istishna.
a. Murabahah
Murabahah dalam bank syariah merupakan
penjualan atau pembelian suatu barang yang dilakukan bank syariah dengan harga
pokok ditambah keuntungan tertentu yang telah disepakati.
b. Salam
Salam dalam bank syariah merupakan
penjualan atau pembelian yang dilakukan oleh bank syariah dengan pembayaran
terlebih dahulu namun barang yang akan diserahkan belum ada dan akan diserah
waktu yang telah disepakati.
c. Istishna
Istishna dalam bank syariah sama seperti
salam merupakan penjualan dan pembelian yang dilakukan oleh bank syariah barang
yang akan di serah kan belum ada, namun pembayaran bisa dicicil beberapa kali.
2. Pola penyewaan
Akad penyewaan dalam bank syariah hanya
ada satu jenis yaitu ijarah. Akad ijarah dalam bank syariah merupakan kontrak
yang dilakukan bank syariah dengan nasabah/klien yang objek transaksinya adalah
jasa. Akad ijarah terjadi apabila biaya sewa dan harga jual telah ditetapkan pada
kontrak.
3. Pola bagi hasil
Akad pada pola ini dibagi menjadi 2
yaitu
a. Musyarakah
Akad musyarakah dalam bank syariah
merupakan akad antara bank syariah dengan satu orang atau lebih yang bersekutu
atau bekerjasama untuk membuat usaha dengan keuntungan yang dibagi hasil dengan
sesuai kesepakatan.
b. Mudharabah
Akad mudharabah dalam bank syariah
merupakan akad antara bank syariah dengan satu orang atau lebih dimana bank
sebagai penanam modal dan nasabah/klien sebagai pengelolanya dengan ketentuan
tertentu.
4. Pola titipan
Akad pada pola ini disebut wardi’ah.
Wardi’ah dalam bank syariah merupakan akad penitipan harta benda dari seorang
nasabah kepada bank.
Wardi’ah
dibagi menjadi 2 yaitu
a. Wardi’ah yad amanah
Wardi’ah yad amanah merupakan akad
penitipan harta benda dari seseorang kepada orang lain dimana jika harta benda
tersebut hilang atau rusak jika bukan kecerobohan dari penerima, maka pihak
penerima tidak bertanggung jawab. Biaya penitipan boleh dibebankan kepada pihak
penitip sebagai kompensasi atas tanggung jawab pemeliharaan.
b. Wardi’ah yad dhamanah
Wardi’ah yad dhamanah merupakan akad
penitipan harta benda dari seseorang kepada orang lain dimana jika harta benda
tersebut hilang atau rusak maka penerima barang tersebut harus menanggung aas
hilang dan rusaknya barang tersebut. Ini berarti bahwa pihak penyimpan telah
mendapatkan izin dari pihak penitip untuk mempergunakan barang/aset yang
dititipkan tersebut untuk aktivitas perekonomian tertentu, dengan catatan bahwa
pihak penyimpan akan mengembalikan barang/aset yang dititipkan secara utuh pada
saat penyimpan menghendaki.
5. Pola Pinjaman
Satu-satunya akad berbentuk pinjaman
yang diterapkan dalam perbankan syariah adalah Qardh. Qardh merupakan pinjaman
kebajikan/lunak tanpa imbalan dan dikembalikan dalam jangka waktu tertentu.
Qardh ketika dikembalikan hanya wajib dikembalikan sebesar biaya yang dipinjam
saja, namun bank boleh menambahkan biaya sewa gedung,biaya karyawan dan
lain-lain, dengan syarat tidak boleh lebih dari 2,5%.
6. Pola Lainnya
Pola
lainnya yang digunakan oleh bank syariah yaitu
1. Wakalah
Wakalah adalah akad seorang
nasabah/klien memerikan kuasa kepada bank untuk mewakilinya dalam melaksanakan
pekerjaan. Misal menyamakan jurnal sebuah perusahaan dengan junal di bank.
2. Kafalah
Kafalah merupakan akad berupa jaminan
keamanan dari pihak bank kepada nasabah dan pihak bank boleh meminta imbalan.
3. Hawalah
Hawalah merupakan akad pengalihan
kewajiban dari nasabah yang tidak mampu untuk membayar kewajiban kepada orang
yang mampu membayar kewajiban.
4. Rahn
Rahn merupakan akad menjadikan hartanya
sebagai jaminan manakala peminjam hutang itu tidak dapat membayar hutang
tersebut.
5. Sharf
Sharf merupakan akad jual beli valutan
asing dengan syarat waktu yang sama.
6. Ujr
Ujr merupakan akad pemberian imbalan
kepada karyawan bank atas pekerjaan mereka