Friday, May 27, 2016

Akad Bank Syariah

1. Pengertian Akad
Menurut buku Akad dan Produk Bank Syariah, Akad (ikatan, keputusan, atau penguatan) atau perjanjian atau kesepakatan atau transaksi dapat diartikan sebagai komitmen yang terbingkai dengan nilai-nilai Syariah. Dalam istilah Fiqih, secara umum akad berarti sesuatu yang menjadi tekad seseorang untuk melaksanakan, baik yang muncul dari satu pihak, seperti wakaf, talak, dan sumpah, maupun yang muncul dari dua pihak, seperti jual beli, sewa, wakalah, dan gadai. Secara khusus akad berarti keterkaitan antara ijab (pernyataan penawaran/pemindahan kepemilikan) dan qabul (pernyataan penerimaan kepemilikan) dalam lingkup yang disyariatkan dan berpengaruh pada sesuatu (Santoso, 2003).
Menurut buku Islamic Banking, Kontrak dalam islam dibedakan menjadi wa’ad dan akad. Akad adalah kontrak yang dibuat oleh kedua belah pihak sedangkan wa’ad adalah janji yang dibuat oleh seseorang kepada orang lain. Disisi lain, akad mengikat kedua belah pihak yang menyetujui hal tersebut, dalam hal itu mereka masing-masing terikat untuk melaksanakan kewajibannya yang telah disepakati sebelumnya.
Jadi akad merupakan kesepakatan atau kontrak yang dibuat oleh kedua belah pihak dengan melaksanakan kewajiban yang telah disepakati sebelumnya, serta memakai nilai-nilai syariah atau aturan-aturan islam.

2. Rukun Akad
Menurut buku Akad dan Produk Bank Syariah, Rukun dalam akad ada tiga, yaitu: 1) pelaku akad; 2) objek akad; dan 3) Shighah atau pernyataan pelaku akad, yaitu ijab dan qabul. Pelaku akad haruslah orang yang mampu melakukan akad untuk dirinya (ahliyah) dan mempunyai otoritas Syariah yang diberikan pada seseorang untuk merealisasikan akad sebagai perwakilan dari yang lain (wilayah). Objek akad harus ada ketika terjadi akad, harus sesuatu yang disyariatkan, harus bisa diserahterimakan ketika terjadi akad, dan harus sesuatu yang jelas antara dua pelaku akad. Sementara itu, ijab qabul harus jelas maksudnya, sesuai antara ijab dan qabul, dan bersambung antara ijab dan qabul.
Menurut buku Akad dan Produk Bank Syariah, Syarat dalam akad ada empat, yaitu: 1) syarat berlakunya akad (In’iqod); 2) syarat sahnya akad (Shihah); 3) syarat terealisasikannya akad (Nafadz); dan 4) syarat akad (Lazim). Syarat In’iqod ada yang umum dan khusus. Syarat umum harus selalu ada pada setiap akad, seperti syarat yang harus ada pada pelaku akad, objek akad dan Shighah akad, akad bukan pada sesuatu yang diharamkan, dan akad pada sesuatu yang bermanfaat. Sementara itu, syarat khusus merupakan sesuatu yang harus ada pada akad-akad tertentu, seperti syarat minimal dua saksi pada akad nikah. Syarat shihah, yaitu syarat yang diperlukan secara Syariah agar akad berpengaruh, seperti dalam akad perdagangan harus bersih dari cacat. Syarat nafadz ada dua, yaitu kepemilikan (barang dimiliki oleh pelaku dan berhak menggunakannya) dan wilayah. Syarat lazim, yaitu bahwa akad harus dilaksanakan apabila tidak ada cacat.
Menurut buku Hukum Kontrak Syariah, Rukun dapat diartikan sebagai unsur-unsur yang menentukan terbentuknya. Tanpa ada rukun, suatu akad tidak akan terjadi. Rukun akad terbagi menjadi 3 yaitu :
1.)        Aqidain (Pihak yang berakad)
Aqidain dipandang sebagai rukun akad karena merupakan satu pilar utama tegaknya akad. Tanpa ada aqidain akad tidak akan terjadi. Aqidain merupakan subjek hukum sebagai pelaku perbuatan yang menurut syara’ dapat melaksanakan hak dan kewajiban. Aqidain atau subjek hukum terdiri dari dua macam, yaitu manusia dan badan hukum. Agar aqidain dapat mengadakan akad secara sah, maka harus memenuhi syarat kecakapan (ahliyah) dan kewunangan (wilayah) bertindak di hadapan hukum.
2.)        Mahal al-‘Aqd (Objek akad)
Mahal al-‘Aqd ialah sesuatu yang oleh syara dijadikan objek dan dikenakan padanya akibat hukum yang ditimbulkan. Dengan kata lain, mahal al-‘Aqd dapat diartikan pula sebagai sesuatu yang berkaitan dengan perbuatan manusia ketika akan melakukan akad. Mahal al-‘Aqd dibagi menjadi dua, yaitu harta benda dan manfaat perbuatan itu sendiri.
3.)        Sighat al-‘Aqd
Sighat al-‘Aqd merupakan hasil ijab dan qabul bedasarkan ketentuan syara’ yang menimbulkan akibat hukum terhadap objeknya. Pernyataan ijab qabul bertujuan untuk menunjukan terjadinya kesepakatan akad. Ijab adalah pernyataan pertama yang disampaikan oleh salah satu pihak yang mencerminkan kehendak untuk mengadakan kesepakatan, sedangkan qabul adalah pernyataan oleh pihak lain setelah ijab yang mencerminkan persetujuan/kesepakatan terhadap akad.
Menurut buku Hukum Kontrak Syariah, persyaratan yang harus dipenuhi ketika akan mengadakan akad yaitu :
1.)        Terjadinya akad
Syarat terjadinyaakad harus ada agar keberadaan akad diakui oleh syara’. Jika syarat ini tidak ada maka akad tersebut akan batal. Bagian yang termasuk dalam syarat ini adalah
1.         Ketentuan umum berupa persyaratan yang terdapat pada rukun-rukun akad
2.         Berupa persyaratan tambahan yang harus dipenuhi. Misal, serah terima akad kebendaan.
2.)        Keabsahan akad
Keabsahan akad merupakan persyaratan yang ditetapkan oleh syara’ untuk ada tidaknya akibat hukum yang ditimbulkan akad.
3.)        Kepastian akad
Syarat luzum merupakan syarat kepastian hukum dalam akad, sehingga tidak ada hak memilih untuk meneruskan atau membatalkan.
4.)        Pelaksanaan akad
Dalam syarat ini ada beberapa yang harus dipenuhi, diantaranya syarat kecakapan untuk bertindak hukum dan memiliki kewenangan unruk melakukan perbuatan hukum.
Jadi dalam pelaksanaan akad terdapat rukun-rukun serta syaratnya. Rukun-rukun akad yaitu [1] pelaku/subjek akad, [2] objek akad, dan [3] pernyataan akad/ijab qabul. Syarat akad yaitu terjadinya [1] syarat berlakunya akad (In’iqod), [2] syarat sahnya akad (Shihah), [3] syarat terealisasikannya akad (Nafadz), dan [4] syarat akad (Lazim)

3. Jenis-Jenis Akad yang Diterapkan Bank Syariah
Berbagai jenis akad yang diterapkan oleh bank syariah dapat dibagi ke dalam enam kelompok pola, yaitu:
1. Pola Titipan, seperti wadi’ah yad amanah dan wadi’ah yad dhamanah;
2. Pola Pinjaman, seperti qardh dan qardhul hasan;
3. Pola Bagi Hasil, seperti mudharabah dan musharakah;
4. Pola Jual Beli, seperti murabahah, salam, dan istishna;
5. Pola Sewa, seperti ijarah dan ijarah wa iqtina; dan
6. Pola Lainnya, seperti wakalah, kafalah, hiwalah, ujr, sharf, dan rahn.

1.         Akad Pola Titipan
Akad berpola titipan (Wadi’ah) ada dua, yaitu Wadi’ah yad Amanah dan Wadi’ah yad Dhamanah.
1. Titipan Wadi’ah yad Amanah
Secara umum Wadi’ah adalah titipan murni dari pihak penitip (muwaddi’) yang mempunyai barang/aset kepada pihak penyimpan (mustawda’) yang diberi amanah/kepercayaan, baik individu maupun badan hukum, tempat barang yang dititipkan harus dijaga dari kerusakan, kerugian, keamanan, dan keutuhannya, dan dikembalikan kapan saja penyimpan menghendaki. Barang/aset yang dititipkan adalah sesuatu yang berharga yang dapat berupa uang, barang, dokumen, surat berharga, atau barang berharga lainnya. Dalam konteks ini, pada dasarnya pihak penyimpan (custodian) sebagai penerima kepercayaan (trustee) adalah yad al-amanah ‘tangan amanah’ yang berarti bahwa ia tidak diharuskan bertanggung jawab jika sewaktu dalam penitipan terjadi kehilangan atau kerusakan pada barang/aset titipan, selama hal ini bukan akibat dari kelalaian atau kecerobohan yang bersangkutan dalam memelihara barang/aset titipan. Biaya penitipan boleh dibebankan kepada pihak penitip sebagai kompensasi atas tanggung jawab pemeliharaan. Dengan prinsip ini, pihak penyimpan tidak boleh menggunakan atau memanfaatkan.
2. Titipan Wadi’ah yad Dhamanah
Dari prinsip yad al-amanah ‘tangan amanah’ kemudian berkembang prinsip yadhdhamanah ‘tangan penanggung’ yang berarti bahwa pihak penyimpan bertanggung jawab atas segala kerusakan atau kehilangan yang terjadi pada barang/aset titipan. Hal ini berarti bahwa pihak penyimpan atau custodian adalah trustee yang sekaligus guarantor ‘penjamin’ keamanan barang/aset yang dititipkan. Ini juga berarti bahwa pihak penyimpan telah mendapatkan izin dari pihak penitip untuk mempergunakan barang/aset yang dititipkan tersebut untuk aktivitas perekonomian tertentu, dengan catatan bahwa pihak penyimpan akan mengembalikan barang/aset yang dititipkan secara utuh pada saat penyimpan menghendaki. Hal ini sesuai dengan anjuran dalam Islam agar aset selalu diusahakan untuk tujuan produktif (tidak idle atau didiamkan saja). Dengan prinsip ini, penyimpan boleh mencampur aset penitip dengan aset penyimpan atau aset penitip yang lain, dan kemudian digunakan untuk tujuan produktif mencari keuntungan. Pihak penyimpan berhak atas keuntungan yang diperoleh dari pemanfaatan aset titipan dan bertanggung jawab penuh atas risiko kerugian yang mungkin timbul. Selain itu, penyimpan diperbolehkan juga atas kehendak sendiri memberikan bonus kepada pemilik aset tanpa akad perjanjian yang mengikat sebelumnya.
Sementara itu, syarat Wadi’ah yang harus dipenuhi adalah syarat bonus sebagai
berikut:
1) Bonus merupakan kebijakan (hak prerogatif) penyimpan; dan
2) Bonus tidak disyaratkan sebelumnya.
Prinsip Wadi’ah yad Dhamanah inilah yang secara luas kemudian diaplikasikan dalam
dunia perbankan Islam dalam bentuk produk-produk pendanaannya, yaitu:
1) Giro (current account) Wadi’ah
2) Tabungan (savings account) Wadi’ah
Beberapa ketentuan Wadi’ah Yad Dhamanah, antara lain:
1) Penyimpan memiliki hak untuk menginvestasikan asset yang dititipkan;
2) Penitip memiliki hak untuk mengetahui bagaimana assetnya diinvestasikan;
3) Penyimpan menjamin hanya nilai pokok jika modal bekurang karena
merugi/terdepresiasi;
4) Setiap keuntungan yang diperoleh penyimpan dapat dibagikan sebagai hibah atau hadiah (bonus). Hal itu berarti bahwa penyimpan (bank) tidak memiliki kewajiban mengikat untuk membagikan keuntungan yang diperolehnya; dan
5) Penitip tidak memiliki hak suara.
Simpanan dengan prinsip wadi’ah yad dhamanah mempunyai potensi untuk bermasalah dalam beberapa hal, yaitu:
􀂉 Masalah 1: Investasi yang terbatas. Utilisasi asset: Untuk melindungi kerugian modal, penyimpan (bank) tidak dapat menginvestasikan dana wadi’ah yad dhamanah pada proyek-proyek berisiko tinggi dengan profit tinggi sehingga penyimpan terlalu bergantung pada investasi berisiko rendah dengan profit rendah (murabahah);
􀂉 Masalah 2: Distribusi profit menguntungkan penyimpan. Penitip berada pada posisi belas kasih penyimpan (bank) karena penyimpan secara legal tidak diwajibkan untuk mendistribusi profit yang diperoleh. Bank dapat memberikan hibah (bonus) rendah meskipun mereka memperoleh profit yang tinggi.
􀂉 Masalah 3: Mencampur dana simpana dengan modal.

2.         Akad Pola Pinjaman
Satu-satunya akad berbentuk pinjaman yang diterapkan dalam perbankan syariah adalah Qardh dan turunannya Qardhul Hasan. Karena bunga dilarang dalam Islam, maka pinjaman Qardh maupun Qardhul Hasan merupakan pinjaman tanpa bunga. Lebih khusus lagi, pinjaman Qardhul Hasan merupakan pinjaman kebajikan yang tidak bersifat komersial, tetapi bersifat sosial.
Qardh merupakan pinjaman kebajikan/lunak tanpa imbalan, biasanya untuk pembelian barang-barang fungible (yaitu barang yang dapat diperkirakan dan diganti sesuai berat, ukuran, dan jumlahnya). Kata qardh ini kemudian diadopsi menjadi credo (romawi), credit (Inggris), dan kredit (Indonesia). Objek dari pinjaman qardh biasanya adalah uang atau alat tukar lainnya (Saleh, 1992), yang merupakan transaksi pinjaman murni tanpa bunga ketika peminjam mendapatkan uang tunai dari pemilik dana (dalam hal ini bank) dan hanya wajib mengembalikan pokok hutang pada waktu tertentu di masa yang akan datang. Peminjam atas prakarsa sendiri dapat mengembalikan lebih besar sebagai ucapan terimakasih. Ulama-ulama tertentu membolehkan pemberi pinjaman untuk membebani biaya jasa pengadaan pinjaman. Biaya jasa ini bukan merupakan keuntungan, melainkan merupakan biaya aktual yang dikeluarkan oleh pemberi pinjaman, seperti biaya sewa gedung, gaji pegawai, dan peralatan kantor (Al-Omar dan Abdel-Haq, 1996).
Hukum Islam memperbolehkan pemberi pinjaman untuk meminta kepada peminjam untuk membayar biaya-biaya operasi di luar pinjaman pokok, tetapi agar biaya ini tidak menjadi bunga terselubung komisi atau biaya ini tidak boleh dibuat proporsional terhadap jumlah pinjaman (Ashker, 1987). Akad ini terutama digunakan oleh IDB ketika memberikan pinjaman lunak kepada pemerintah. Biaya jasa ini pada umumnya tidak lebih dari 2,5 persen, dan selama ini berkisar antara 1–2 persen. Dalam aplikasinya di perbankan syariah, qardh biasa digunakan untuk menyediakan dana talangan kepada nasabah prima dan untuk menyumbang sektor usaha kecil/mikro atau membantu sektor sosial. Dalam hal yang terakhir, skema pinjamannya disebut qardhul hasan. Qardh dapat digunakan sebagai akad simpanan dan dapat pula digunakan sebagai akad pembiayaan.

3.         Akad Pola Bagi Hasil
Akad bank syariah yang utama dan paling penting yang disepakati oleh para ulama adalah akad dengan pola bagi hasil dengan prinsip mudharabah (trustee profit sharing) dan musyarakah (joint venture profit sharing). Prinsipnya adalah al-ghunm bi’l-ghurm atau al-kharãj bi’l-damãn, yang berarti bahwa tidak ada bagian keuntungan tanpa ambil bagian dalam risiko (Al-Omar dan Abdel-Haq, 1996), atau untuk setiap keuntungan ekonomi riil harus ada biaya ekonomi riil (Khan, 1995). Masalah bagi hasil dan partnership telah dibahas oleh Muhammad bin Hasan Al Syaibani yang hidup pada 132 – 189 AH / 750 – 804 AD (MN Shiddiqi dalam Karim, 2002) dalam konteks perbankan Islam modern. Konsep bagi hasil yang digambarkan dalam buku Fiqih pada umumnya diasumsikan bahwa para pihak yang bekerja sama bermaksud untuk memulai atau mendirikan suatu usaha patungan (joint venture) ketika semua mitra usaha turut berpartisipasi sejak awal beroperasi dan tetap menjadi mitra usaha sampai usaha berakhir pada waktu semua aset dilikuidasi. Jarang sekali ditemukan konsep usaha yang terus berjalan (running business) ketika mitra usaha bisa datang dan pergi setiap saat tanpa mempengaruhi jalannya usaha. Hal ini disebabkan buku-buku Fiqih Islam ditulis pada waktu usaha tidak sebesar dan serumit usaha zaman sekarang, sehingga konsep “running business” tidak mendapat perhatian. Namun demikian, itu tidak berarti bahwa konsep bagi hasil tidak dapat diterapkan untuk pembiayaan suatu usaha yang sedang berjalan.
Konsep bagi hasil berlandaskan pada beberapa prinsip dasar. Selama prinsip-prinsip dasar ini dipenuhi, detail dari aplikasinya akan bervariasi dari waktu ke waktu. Ciri utama pola bagi hasil adalah bahwa keuntungan dan kerugian ditanggung bersama baik oleh pemilik dana maupun pengusaha. Beberapa prinsip dasar konsep bagi hasil yang dikemukakan oleh Usmani (1999), adalah sebagai berikut :
1. Bagi hasil tidak berarti meminjamkan uang, tetapi merupakan partisipasi dalam
usaha. Dalam hal musyarakah, keikutsertaan aset dalam usaha hanya sebatas
proporsi pembiayaan masing-masing pihak.
2. Investor atau pemilik dana harus ikut menanggung risiko kerugian usaha sebatas
proporsi pembiayaannya.
3. Para mitra usaha bebas menentukan, dengan persetujuan bersama, rasiokeuntungan untuk masing-masing pihak, yang dapat berbeda dari rasio
pembiayaan yang disertakan.
4. Kerugian yang ditanggung oleh masing-masing pihak harus sama dengan
proporsi investasi mereka.
1.         Musyarakah
Musyarakah merupakan istilah yang sering dipakai dalam konteks skim pembiayaan
Syariah. Istilah ini berkonotasi lebih terbatas dari pada istilah syirkah yang lebih umum
digunakan dalan fikih Islam (Usmani, 1999). Syirkah berarti sharing ‘berbagi’, dan di
dalam terminologi Fikih Islam dibagi dalam dua jenis.
a) Syirkah al-milk atau syirkah amlak atau syirkah kepemilikan, yaitu kepemilikan
bersama dua pihak atau lebih dari suatu properti; dan
b) Syirkah al-‘aqd atau syikah ‘ukud atau syirkah akad, yang berarti kemitraan yang
terjadi karena adanya kontrak bersama, atau usaha komersial bersama. Syirkah
al-‘aqd sendiri ada empat (Mazhab Hambali memasukkan syirkah mudharabah
sebagai syirkah al-‘aqd yang kelima), satu yang disepakati dan tiga yang
diperselisihkan, yaitu:
􀂾 Syirkah al-amwal atau syirkah al-‘Inan, yaitu usaha komersial bersama ketika
semua mitra usaha ikut andil menyertakan modal dan kerja, yang tidak harus
sama porsinya, ke dalam perusahaan. Para ulama sepakat membolehkan
bentuk syirkah ini.
􀂾 Syirkah al-mufawadhah, yaitu usaha komersial bersama dengan syarat adanya kesamaan pada penyertaan modal, pembagian keuntungan, pengelolaan, kerja, dan orang. Mazhab Hanafi dan Maliki membolehkan bentuk syirkah ini. Sementara itu, mazhab Syafi’i dan Hambali melarangnya karena secara realita sukar terjadi persamaan pada semua unsurnya, dan banyak mengandung unsur gharar atau ketidakjelasan.
􀂾 Syirkah al-a’mal atau syirkah Abdan, yaitu usaha komersial bersama ketika semua mitra usaha ambil bagian dalam memberikan jasa kepada pelanggan. Jumhur (mayoritas) ulama, yaitu dari mazhab Hanafi, Maliki dan Hambali, membolehkan bentuk syirkah ini. Sementara itu, mazhab Syafi’i melarangnya karena mazhab ini hanya membolehkan syirkah modal dan tidak boleh syirkah kerja. Syirkah al-wujuh adalah usaha komersial bersama ketika mitra tidak mempunyai investasi sama sekali. Mereka membeli komoditas dengan pembayaran tangguh dan menjualnya tunai. Mazhab Hanafi dan Hambali membolehkan bentuk syirkah ini, sedangkan mazhab Maliki dan Syafi’i melarangnya. Istilah musharakah tidak ada dalam Fikih Islam, tetapi baru diperkenalkan belum lama ini oleh mereka yang menulis tentang skim-skim pembiayaan Syariah yang biasanya terbatas pada jenis syirkah tertentu, yaitu syirkah al-amwal yang dibolehkan oleh semua ulama.
Musyarakah merupakan akad bagi hasil ketika dua atau lebih pengusaha pemilik dana/modal bekerja sama sebagai mitra usaha, membiayai investasi usaha baru atau yang sudah berjalan. Mitra usaha pemilik modal berhak ikut serta dalam manajemen perusahaan, tetapi itu tidak merupakan keharusan. Para pihak dapat membagi pekerjaan mengelola usaha sesuai kesepakatan dan mereka juga dapat meminta gaji/upah untuk tenaga dan keahlian yang mereka curahkan untuk usaha tersebut. Proporsi keuntungan dibagi di antara mereka menurut kesepakatan yang ditentukan sebelumnya dalam akad sesuai dengan proporsi modal yang disertakan (pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i), atau dapat pula berbeda dari proporsi modal yang mereka sertakan (pendapat Imam Ahmad). Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa proporsi keuntungan dapat berbeda dari proporsi modal pada kondisi normal. Namun demikian, mitra yang memutuskan menjadi sleeping partner, proporsi keuntungannya tidak boleh melebihi proporsi modalnya. Sementara itu, kerugian, apabila terjadi, akan ditanggung bersama sesuai dengan proporsi penyertaan modal masing-masing (semua ulama sepakat dalam hal ini). Dapat diambil kesimpulan bahwa dalam musyarakah keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan para pihak, sedangkan kerugian ditanggung bersama sesuai dengan proporsi penyertaan modal masing-masing pihak. Penyertaan modal dari para mitra usaha harus berupa uang (pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad), atau berupa uang atau barang (pendapat Imam Malik). Sementara itu, Iman Syafi’i memerinci bahwa barang yang dapat disertakan dalam modal adalah barang yang dapat diukur kualitas dan kuantitasnya sehingga dapat diganti kalau ada kerusakan. Barang ini biasa disebut dhawat-ul-amthal atau fungible goods, bukan dhawat-ul-qeemah yang sulit diukur kualitas dan kuantitasnya.
Dapat diambil kesimpulan bahwa modal musharakah dapat berupa uang atau barang yang dinilai pada harga pasar saat perjanjian. Musyarakah pada umumnya merupakan perjanjian yang berjalan terus sepanjang usaha yang dibiayai bersama terus beroperasi. Meskipun demikian, perjanjian musyarakah dapat diakhiri dengan atau tanpa menutup usaha. Apabila usaha ditutup dan dilikuidasi, maka masing-masing mitra usaha mendapat hasil likuidasi aset sesuai nisbah penyertaannya. Apabila usaha terus berjalan, maka mitra usaha yang ingin mengakhiri perjanjian dapat menjual sahamnya ke mitra usaha yang lain dengan harga yang disepakati bersama. Rukun dari akad musyarakah yang harus dipenuhi dalam transaksi ada beberapa, yaitu:
1) Pelaku akad, yaitu para mitra usaha;
2) Objek akad, yaitu modal (maal), kerja (dharabah), dan keuntungan (ribh); dan
3) Shighah, yaitu Ijab dan Qabul.
Beberapa syarat pokok musyarakah menurut Usmani (1998) antara lain:
a) Syarat akad. Karena musyarakah merupakan hubungan yang dibentuk oleh
para mitra melalui kontrak/akad yang disepakati bersama, maka otomatis empat
syarat akad yaitu 1) syarat berlakunya akad (In’iqod); 2) syarat sahnya akad
(Shihah); 3) syarat terealisasikannya akad (Nafadz); dan 4) syarat Lazim juga harus
dipenuhi. Misalnya, para mitra usaha harus memenuhi syarat pelaku akad (ahliyah
dan wilayah), akad harus dilaksanakan atas persetujuan para pihak tanpa adanya
tekanan, penipuan, atau penggambaran yang keliru, dan sebagainya.
b) Pembagian proporsi keuntungan. Dalam pembagian proporsi keuntungan
harus dipenuhi hal-hal berikut.
(1) Proporsi keuntungan yang dibagikan kepada para mitra usaha harus
disepakati di awal kontrak/akad. Jika proporsi belum ditetapkan, akad tidak
sah menurut Syariah.
(2) Rasio/nisbah keuntungan untuk masing-masing mitra usaha harus ditetapkan sesuai dengan keuntungan nyata yang diperoleh dari usaha, dan tidak ditetapkan berdasarkan modal yang disertakan. Tidak diperbolehkan untuk menetapkan lumsum untuk mitra tertentu, atau tingkat keuntungan tertentu
2.         Mudharabah
Secara singkat mudharabah atau penanaman modal adalah penyerahan modal uang
kepada orang yang berniaga sehingga ia mendapatkan persentase keuntungan (Al-
Mushlih dan Ash-Shawi, 2004). Sebagai suatu bentuk kontrak, mudharabah merupakan akad bagi hasil ketika pemilik dana/modal (pemodal), biasa disebut shahibul maal/rabbul maal, menyediakan modal (100 persen) kepada pengusaha sebagai pengelola, biasa disebut mudharib, untuk melakukan aktivitas produktif dengan syarat bahwa keuntungan yang dihasilkan akan dibagi di antara mereka menurut kesepakatan yang ditentukan sebelumnya dalam akad (yang besarnya juga dipengaruhi oleh kekuatan pasar). Shahibul maal (pemodal)
adalah pihak yang memiliki modal, tetapi tidak bisa berbisnis, dan mudharib (pengelola
atau entrepreneur) adalah pihak yang pandai berbisnis, tetapi tidak memiliki modal. Apabila terjadi kerugian karena proses normal dari usaha, dan bukan karena kelalaian atau  ecurangan pengelola, kerugian ditanggung sepenuhnya oleh pemilik modal, sedangkan pengelola kehilangan tenaga dan keahlian yang telah dicurahkannya. Apabila terjadi kerugian karena kelalaian dan kecurangan pengelola, maka pengelola bertanggung jawab sepenuhnya. Pengelola tidak ikut menyertakan modal, tetapi menyertakan tenaga dan keahliannya, dan juga tidak meminta gaji atau upah dalam menjalankan usahanya. Pemilik dana hanya menyediakan modal dan tidak dibenarkan untuk ikut campur dalam manajemen usaha yang dibiayainya. Kesediaan pemilik dana untuk menanggung risiko apabila terjadi kerugian menjadi dasar untuk mendapat bagian dari keuntungan. Dalam satu kontrak mudharabah pemodal dapat bekerja sama dengan lebih dari satu pengelola. Para pengelola tersebut seperti bekerja sebagai mitra usaha terhadap pengelola yang lain. Nisbah (porsi) bagi hasil pengelola dibagi sesuai kesepakatan dimuka. Nisbah bagi hasil antara pemodal dan pengelola harus disepakati di awal perjanjian. Besarnya nisbah bagi hasil masing-masing pihak tidak diatur dalam Syariah, tetapi tergantung kesepakatan mereka. Nisbah bagi hasil bisa dibagi rata 50:50, tetapi bisa juga 30:70, 60:40, atau proporsi lain yang disepakati. Pembagian keuntungan yang tidak diperbolehkan adalah dengan menentukan alokasi jumlah tertentu untuk salah satu pihak. Diperbolehkan juga untuk menentukan proporsi yang berbeda untuk situasi yang berbeda. Misalnya, jika pengelola berusaha di bidang produksi, maka nisbahnya 50 persen, sedangkan kalau pengelola berusaha di bidang perdagangan,  maka nisbahnya 40 persen. Di luar porsi bagi hasil yang diterima pengelola, pengelola tidak diperkenankan meminta gaji atau kompensasi lainnya untuk hasil kerjanya. Semua mazhab sepakat dalam hal ini. Namun demikian, Imam Ahmad memperbolehkan pengelola untuk mendapatkan uang makan harian dari rekening mudharabah. Ulama dari mazhab Hanafi memperbolehkan pengelola untuk mendapatkan uang harian (seperti untuk akomodasi, makan, dan transpor) apabila dalam perjalanan bisnis ke luar kota. Sementara itu, syarat-syarat khusus yang harus dipenuhi dalam mudharabah terdiri
dari syarat modal dan keuntungan. Syarat modal, yaitu:
1) Modal harus berupa uang;
2) Modal harus jelas dan diketahui jumlahnya;
3) Modal harus tunai bukan hutang; dan
4) Modal harus diserahkan kepada mitra kerja.
Sedangkan syarat keuntungan, yaitu keuntungan harus jelas ukurannya; dan keuntungan harus dengan pembagian yang disepakati kedua belah pihak. Syarat lain akad mudharabah muqayyadah ‘executing’ (on balance sheet) dan mudharabah muqayyadah ‘channeling’ (off balance sheet) adalah sebagai berikut.
􀂉 Mudharabah muqayyadah on balance sheet (executing):
Pemodal menetapkan syarat;
Kedua pihak sepakat dengan syarat usaha, keuntungan;
Bank menerbitkan bukti investasi khusus; dan
Bank memisahkan dana.
􀂉 Mudharabah muqayyadah off balance sheet (channeling):
Penyaluran langsung ke nasabah;
Bank menerima komisi;
Bank menerbitkan bukti investasi khusus; dan
Bank mencatat di rekening administrasi.

4.         Akad Pola Jual Beli
Jual beli (buyu’, jamak dari bai’) atau perdagangan atau perniagaan atau trading secara terminologi Fiqih Islam berarti tukar menukar harta atas dasar saling ridha (rela), atau memindahkan kepemilikan dengan imbalan pada sesuatu yang diizinkan (Santoso, 2003). Jual beli dibolehkan Syariah berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma’ (konsensus) para ulama. Dalam QS 2:275 disebutkan bahwa “Allah menghalalkan perniagaan (albai’) dan mengharamkan riba”. Sedangkan dalam QS 4:29 disebutkan “Hai orangorang yang beriman, janganlah kamu makan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu”.
1.         Murabahah
Murabahah adalah istilah dalam Fiqih Islam yang berarti suatu bentuk jual beli tertentu ketika penjual menyatakan biaya perolehan barang, meliputi harga barang dan biayabiaya lain yang dikeluarkan untuk memperoleh barang tersebut, dan tingkat keuntungan (margin) yang diinginkan. Tingkat keuntungan ini bisa dalam bentuk lumpsum atau persentase tertentu dari biaya perolehan. Pembayaran bisa dilakukan secara spot (tunai) atau bisa dilakukan di kemudian hari yang disepakati bersama. Oleh karena itu, murabahah tidak denga sendirinya mengandung konsep pembayaran tertunda (deferred payment), seperti yang secara umum  dipahami oleh sebagian orang yang mengetahui murabahah hanya dalam hubungannya dengan transaksi pembiayaan di perbankan syariah, tetapi tidak memahami Fiqih Islam.
2.         Salam
Salam merupakan bentuk jual beli dengan pembayaran di muka dan penyerahan
barang di kemudian hari (advanced payment atau forward buying atau future sales)
dengan harga, spesifikasi, jumlah, kualitas, dan tanggal dan tempat penyerahan yang
jelas, serta disepakati sebelumnya dalam perjanjian. Barang yang diperjualbelikan belum tersedia pada saat transaksi dan harus diproduksi terlebih dahulu, seperti produk-produk pertanian dan produk-produk fungible (barang yang dapat diperkirakan dan diganti sesuai berat, ukuran, dan jumlahnya) lainnya. Barang-barang non-fungible seperti batu mulia, lukisan berharga, dan lain-lain yang merupakan barang langka tidak dapat dijadikan obyek salam (Al-Omar dan Abdel-Haq, 1996). Risiko terhadap barang yang diperjualbelikan masih berada pada penjual sampai waktu penyerahan barang. Pihak pembeli berhak untuk meneliti\ dan dapat menolak barang yang akan diserahkan apabila tidak sesuai dengan spesifikasi awal yang disepakati. Salam diperbolehkan oleh Rasululluah SAW dengan beberapa syarat yang harus dipenuhi. Tujuan utama dari jual beli salam adalah untuk memenuhi kebutuhan para petani kecil yang memerlukan modal untuk memulai masa tanam dan untuk menghidupi  eluarganya sampai waktu panen tiba. Setelah pelarangan riba, mereka tidak dapat lagi mengambil pinjaman ribawi untuk keperluan ini sehingga diperbolehkan bagi mereka untuk menjual produk pertaniannya di muka.
3.         Istishna
Istishna adalah memesan kepada perusahaan untuk memproduksi barang atau komoditas tertentu untuk pembeli/pemesan. Istishna merupakan salah satu bentuk jual beli dengan pemesanan yang mirip dengan salam yang merupakan bentuk jual beli forward kedua yang dibolehkan oleh Syariah. Jika perusahaan mengerjakan untuk memproduksi barang yang dipesan dengan bahan baku dari perusahaan, maka kontrak/akad istishna muncul. Agar akad istishna menjadi sah, harga harus ditetapkan di awal sesuai kesepakatan dan barang harus memiliki spesifikasi yang jelas yang telah disepakati bersama. Dalam istishna pembayaran dapat di muka, dicicil sampai selesai, atau di belakang, serta istishna biasanya diaplikasikan untuk industri dan barang manufaktur.

5.         Akad Pola Sewa
Transaksi nonbagi hasil selain yang berpola jual beli adalah transaksi berpola sewa atau ijarah. Ijarah, biasa juga disebut sewa, jasa, atau imbalan, adalah akad yang dilakukan atas dasar suatu manfaat dengan imbalan jasa. Ijarah adalah istilah dalam Fikih Islam dan berarti memberikan sesuatu untuk disewakan. Menurut Sayyid Sabiq, ijarah adalah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian. Jadi, hakekatnya ijarah adalah penjualan manfaat.
Sewa atau ijarah dapat dipakai sebagai bentuk pembiayaan, pada mulanya bukan merupakan bentuk pembiayaan, tetapi merupakan aktivitas usaha seperti jual beli. Individu yang membutuhkan pembiayaan untuk membeli aset dapat mendatangi pemilik dana (dalam hal ini bank) untuk membiayai pembelian aset produktif. Pemilik dana kemudian membeli barang dimaksud dan kemudian menyewakannya kepada yang membutuhkan aset tersebut. Bentuk pembiayaan ini merupakan salah satu teknik pembiayaan ketika kebutuhan \ pembiayaan investor untuk membeli aset terpenuhi, dan investor hanya membayar sewa pemakaian tanpa harus mengeluarkan modal yang cukup besar untuk membeli aset tersebut.

6.         Akad Pola Lainnya
Selain pola-pola yang telah dijelaskan, masih ada jenis akad lain yang biasa digunakan perbankan syariah, yaitu:
1.         Wakalah
Wakalah (deputyship), atau biasa disebut perwakilan, adalah pelimpahan kekuasaan
oleh satu pihak (muwakil) kepada pihak lain (wakil) dalam hal-hal yang boleh diwakilkan. Atas jasanya, maka penerima kekuasaan dapat meminta imbalan tertentudari pemberi amanah.
2.         Kafalah
Kafalah (Guaranty) adalah jaminan, beban, atau tanggungan yang diberikan oleh penanggung (kaafil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung (makful). Kafalah dapat juga berarti mengalihkan tanggung jawab seseorang yang dijamin dengan berpegang pada tanggung jawab orang lain sebagai penjamin. Atas jasanya penjamin dapat meminta imbalan tertentu dari orang yang dijamin. Jadi, secara singkat kafalah berarti mengalihkan tanggung jawab seseorang kepada orang lain dengan imbalan.
3.         Hawalah
Hawalah (Transfer Service) adalah pengalihan hutang/piutang dari orang yang berhutang/berpiutang kepada orang lain yg wajib menanggungnya/menerimanya.
4.         Rahn
Rahn (Mortgage) adalah pelimpahan kekuasaan oleh satu pihak kepada pihak lain (bank) dalam hal-hal yang boleh diwakilkan. Atas jasanya, maka penerima kekuasaan dapat meminta imbalan tertentu dari pemberi amanah.
5.         Sharf
Sharf adalah jual beli suatu valuta dengan valuta lain.
6.         Ujr
Ujr adalah imbalan yang diberikan atau yang diminta atas suatu pekerjaan yang
dilakukan. Akad ujr diaplikasikan dalam produk-produk jasa keuangan bank syariah (fee based services), seperti untuk penggajian, penyewaan safe deposit box, penggunaan ATM, dan sebagainya.
Menurut buku Islamic Banking jenis akad yang diterapkan oleh bank syariah  dibagi 3 kelompok yaitu :
1.         Financing
2.         Funding
3.         Service Provision

1.         Financing
Financing diklasifikasikan menjadi 4 yaitu :
1.         Financing Jual Beli
2.         Financing Penyewaan
3.         Financing pembagian pendapatan
4.         Financing kontrak pelengkap

1.         Financing jual beli
Prinsip jual beli diterapkan sehubungan dengan terjadinya pengalihan kepemilikan atas properti. Margin keuntungan bank adalah tetap dan telah ditentukan dan merupakan elemen dari harga properti dijual.
            Financing jual beli dibedakan menjadi :
a.         Murabahah financing
Istilah yang berasal dari “ribhu”, murabahah adalah transaksi penjualan dan pembelian dimana bank mengungkapkan dengan margin keuntungan kepada klien. Dibawah murabahah bank bertindak sebagai penjual dan klien sebagai pembeli. Harga jual bank sama dengan hargapembeli dari pemasok, meskipun ditambah margin keuntungan. Agar akad murabahah sah, kedua belah pihak harus setuju dengan harga dan waktu pembayaran. Sementara itu, harga jual dikutip dalam kontrak dan, setelah itu sepakat, tidak boleh dirubah dalam periode kontrak ini
b.         Salam financing
Salam adalah transaksi penjualan dan pembelian dimana objek atau properti transaksi yang belum ada. Pengiriman benda biasanya ditangguhkan, sementara pembayaran dilakukan secara tunai. Sepintas, tampaknya ini menyerupai transaksi memajukan penjualan, namun, dibawah transaksi salam, quantiti, qualiti, harga dan waktu harus tetap dan sesuai yang telah ditentukan. Agar akad salam sah, harga jual harus dikutip dalam penjualan dan pembelian kontrak, jika sudah disepakati, kontrak ini tidak bisa dirubah dalam satu periode.
c.         Istishna financing
Istishna financing hampir mirip dengan salam financing. Perbedaannya pembayaran salam financing harus tunai sedangkan istishna bisa dicicil beberapa kali. Perbankan syariah berdasakan skema istishna ini biasanya berlaku dalam pembiayaan usaha manufaktur dan kontruksi. Agar akad istishna sah, harga jual perlu dikutip dalam kontrak yang mana jika telah disetujui tidak dapat dirubah seumur hidup. Namun jika setelah penandatanganan kontrak terjadi perubahan harga barang dan harga diluar kriteria yang telah di setujui maka semua biaya ditanggung oleh klien.

2.         Financing penyewaan
Transaksi ijarah/penyewaan tidak jauh berbeda dari penjualan dan pembelian. Perbedaannya terletak pada objek transaksi. Ketika dalam penjualan dan pembelian objek transaksinya adalah barang, dalam ijarah objek transaksinya adalah jasa. Akad ijarah terjadi apabila biaya sewa dan harga jual telah ditetapkan pada kontrak.

3.         Financing pembagian pendapatan
Pembagian pendapatan ini dibagi menjadi 2 jenis yaitu :
a.         Musyarakah financing
Musyarakah financing suatu akad antara dua pihak atau lebih, yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan. Musyarakah merupakan tindakan hukum diantara pihak yang melakukan kerjasama untuk menjalankan usaha berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai kesepakatan mereka.
b.         Mudharabah financing
Mudharabah financing merupakan suatu akad persekutuan yang membolehkan shahibul mal(pemilik modal) menyerahkan harta kepada madharib(pengelola) untuk menjalankan suatu usaha.

4.         Financing Kontrak pelengkap
Kontrak pelengkap ini tidak bermaksud untuk mencari keuntunga, melainkan digunakan untuk mempermudah pembiayaan.dalam kontrak pelengkap ini dibagi menjadi 5 yaitu :
a.         Hilawah
Hilawah merupakan akad yang digunakan untuk memindahkan utang dari orang yang mengalami kesulitan kepada orang yang mampu membayarnya. Untuk mengantisipasi potensi kerugian, bank perlu menganalisis kapasitas pihak yang berhutang dan melakukan verifikasi atas transaksi antara pihak yang transfer kredit dengang pihak yang berhutang.
b.         Rahn
Rahn merupakan suatu akad yang menjadikan barang sebagai jaminan terhadap suatu hak piutang. Tujuan dari rahn yntuk menyediakan jaminan pembayaran kembali kepada bank dalam menyediakan pembiayaan.
c.         Qardh
Qardh adalah harta yang dipinjamkan seseorang kepada orang lain untuk dikembalikan setelah memiliki kemampuan. Dalam bank syariah biasanya diaplikasikan dalam 4 tujuan :
I.          Untuk perjalanan zarah. Pinjaman diberikan sebesar perjalanan ziarah.
II.        Uang muka dari kartu kredit syariah, dimana klien diberikan fleksibelitas dalam penarikan uang tunai melalui atm.
III.       Pinjaman untuk bisnis kecil
IV.       Pinjaman untuk pegawai bank syariah tersebut.
d.         Wakalah
Dalam konteks perbankan, wakalah tibul ketika klient memberikan kuasa kepada bank untuk mewakili dia dalam melaksanakan pekerjaan tertentu, seperti transfer uang.
e.         Kafalah
Kafalah merupakan bank garansi. Bank garansi dapat disediakan untuk keamanan pembayaran atas kewajiban pembayaran tertentu.

2.         Funding
Pendanaan dalam bank syariah bisa berbentuk giro, tabungan dan deposito berjangka. Pendanaan dalam islam biasanya adalah wadi’ah dan mudharabah. Karena mudharabah sudah dijelaskan di atas maka tidak dijelaskan lagi disini.
Wardiah diterapkan dalam praktik perbankan berbentuk giro yang memiliki karakteristik yard dnamanah, akad ini mirip dengan qard, perbedaannya adalah klien bertindak sebagai penitip, sedangkan bank sebagai penerima.

3.         Banking services
Selain melakukan fungsi intermediasi dalam menghubungkan antara deficit unit dengan surplus unit, bank syariah juga dapat memberikan layanan perbankan lainnya kepada klien dimana bank dihargai dengan biaya sewa atau keuntungan. Layanan perbankan ini ada sharf dan ijarah namun karena ijarah telah dijelaskan di atas maka tidak dijelaskan pada sub judul ini.
Sharf merupakan membeli atau menjual valuta asing dari berbagai jenis harus di transaksikan pada saat yang sama.

2.         Pembahasan

1.         Pengertian Akad
Akad adalah suatu ikatan atau perjanjian antara suatu pihak dengan pihak yang lain dan menimbulkan suatu kewajiban dengan menggunakan nilai- nilai syariah islam. Selain akad dalam kontrak atau perjanjian dalam islampun ada wa’ad. Wa’ad adalah perjanjian yang dilakukan oleh seseorangkepada orang lain.

2.         Rukun dan Syarat akad
Dalam akad harus ada rukun serta syaratnya agar akad itu bisa terlaksana.
Akad memiliki 3 rukun diantaranya :
1.         Pelaku Akad
Pelaku adalah orang yang akan melakukan akad tersebut.
2.         Objek Akad
Objek merupakan barang yang akan disepakati tersebut.
3.         Pernyataan Akad (Shighah)
Pernyataan akad merupakan ucapan dari pelaku untuk melakukan akad yang biasa disebut ijab qabul.
Syarat akad yaitu :
1.         Al-in’iqad
syarat ini berupa ketentuan umum persyaratan yang terdapat dalam rukun akad serta persyaratan yang tidak ada dalam rukun akad
2.         Ash-shihhah
Syarat ini adalah persyaratan yang telah ditetapkan oleh hukum syara’ dan harus terpenuhi untuk menentukan ada atau tidaknya akibat hukum yang ditimbulkan akad.
3.         Al-luzum
Syarat ini merupakan persyaratan yang di tetapkan oleh syara’ berkenaan dengan kepastian sebuah akad.
4.         An-nafadz
Syarat ini merupakan persyaratan yang berkenaan dengan berlakunya/ditangguhkan. Syarat ini harus sudah memenuhi kecakapan untuk bertindak hukum serta memiliki kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum

3.         Jenis-Jenis Akad yang Diterapkan Dalam Bank Syariah
Akad dalam bank syariah ada 6 jenis pola yaitu terdiri dari :

1.         Pola jual beli
Akad jual beli merupakan suatu kontrak yang melibatkan pertukaran harta benda dengan ikhlas dan sesuai hukum syara. Prinsip jual beli diterapkan sehubungan dengan terjadinya pengalihan kepemilikan atas properti. Margin keuntungan bank ditetap dan telah ditentukan yang merupakan elemen dari harga properti dijual.Pola jual beli ini terdiri dari murabahah, salam, dan istishna.
a.         Murabahah
Murabahah dalam bank syariah merupakan penjualan atau pembelian suatu barang yang dilakukan bank syariah dengan harga pokok ditambah keuntungan tertentu yang telah disepakati.
b.         Salam
Salam dalam bank syariah merupakan penjualan atau pembelian yang dilakukan oleh bank syariah dengan pembayaran terlebih dahulu namun barang yang akan diserahkan belum ada dan akan diserah waktu yang telah disepakati.
c.         Istishna
Istishna dalam bank syariah sama seperti salam merupakan penjualan dan pembelian yang dilakukan oleh bank syariah barang yang akan di serah kan belum ada, namun pembayaran bisa dicicil beberapa kali.

2.         Pola penyewaan
Akad penyewaan dalam bank syariah hanya ada satu jenis yaitu ijarah. Akad ijarah dalam bank syariah merupakan kontrak yang dilakukan bank syariah dengan nasabah/klien yang objek transaksinya adalah jasa. Akad ijarah terjadi apabila biaya sewa dan harga jual telah ditetapkan pada kontrak.

3.         Pola bagi hasil
Akad pada pola ini dibagi menjadi 2 yaitu
a.         Musyarakah
Akad musyarakah dalam bank syariah merupakan akad antara bank syariah dengan satu orang atau lebih yang bersekutu atau bekerjasama untuk membuat usaha dengan keuntungan yang dibagi hasil dengan sesuai kesepakatan.
b.         Mudharabah
Akad mudharabah dalam bank syariah merupakan akad antara bank syariah dengan satu orang atau lebih dimana bank sebagai penanam modal dan nasabah/klien sebagai pengelolanya dengan ketentuan tertentu.

4.         Pola titipan
Akad pada pola ini disebut wardi’ah. Wardi’ah dalam bank syariah merupakan akad penitipan harta benda dari seorang nasabah kepada bank.
Wardi’ah dibagi menjadi 2 yaitu
a.         Wardi’ah yad amanah
Wardi’ah yad amanah merupakan akad penitipan harta benda dari seseorang kepada orang lain dimana jika harta benda tersebut hilang atau rusak jika bukan kecerobohan dari penerima, maka pihak penerima tidak bertanggung jawab. Biaya penitipan boleh dibebankan kepada pihak penitip sebagai kompensasi atas tanggung jawab pemeliharaan.
b.         Wardi’ah yad dhamanah
Wardi’ah yad dhamanah merupakan akad penitipan harta benda dari seseorang kepada orang lain dimana jika harta benda tersebut hilang atau rusak maka penerima barang tersebut harus menanggung aas hilang dan rusaknya barang tersebut. Ini berarti bahwa pihak penyimpan telah mendapatkan izin dari pihak penitip untuk mempergunakan barang/aset yang dititipkan tersebut untuk aktivitas perekonomian tertentu, dengan catatan bahwa pihak penyimpan akan mengembalikan barang/aset yang dititipkan secara utuh pada saat penyimpan menghendaki.

5.         Pola Pinjaman
Satu-satunya akad berbentuk pinjaman yang diterapkan dalam perbankan syariah adalah Qardh. Qardh merupakan pinjaman kebajikan/lunak tanpa imbalan dan dikembalikan dalam jangka waktu tertentu. Qardh ketika dikembalikan hanya wajib dikembalikan sebesar biaya yang dipinjam saja, namun bank boleh menambahkan biaya sewa gedung,biaya karyawan dan lain-lain, dengan syarat tidak boleh lebih dari 2,5%.

6.         Pola Lainnya
Pola lainnya yang digunakan oleh bank syariah yaitu
1.         Wakalah
Wakalah adalah akad seorang nasabah/klien memerikan kuasa kepada bank untuk mewakilinya dalam melaksanakan pekerjaan. Misal menyamakan jurnal sebuah perusahaan dengan junal di bank.
2.         Kafalah
Kafalah merupakan akad berupa jaminan keamanan dari pihak bank kepada nasabah dan pihak bank boleh meminta imbalan.
3.         Hawalah
Hawalah merupakan akad pengalihan kewajiban dari nasabah yang tidak mampu untuk membayar kewajiban kepada orang yang mampu membayar kewajiban.
4.         Rahn
Rahn merupakan akad menjadikan hartanya sebagai jaminan manakala peminjam hutang itu tidak dapat membayar hutang tersebut.
5.         Sharf
Sharf merupakan akad jual beli valutan asing dengan syarat waktu yang sama.
6.         Ujr
Ujr merupakan akad pemberian imbalan kepada karyawan bank atas pekerjaan mereka